
kobexielite.com/ – Data Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) 2021 lalu menunjukkan, banyak kegiatan bisnis yang menurun khususnya akibat pembatasan kegiatan masyarakat. Hal ini sangat berdampak pada penjualan unit apartemen, di mana penjualan terhenti namun berbagai kewajiban utang tetap harus dibayar.
Akibatnya, perusahaan developer banyak yang terkendala dalam membayar kewajiban terhadap kreditor. Sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, debitur yang tidak bisa membayar utangnya bisa mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Untuk proyek apartemen yang terkendala, proses PKPU ini bisa berlanjut ke perjanjian homologasi. Homologasi ini bisa menjadi salah satu jalan tengah bagi kedua belah pihak, yakni developer dan konsumen.
Menurut Advokat dan Pengamat Hukum Properti Muhammad Joni, homologasi adalah persetujuan dari badan hukum yang memiliki otoritas resmi untuk mengatur berbagai hal terkait penyelesaian permasalahan antara debitur dengan kreditur maupun pihak-pihak terkait lainnya.
“Bila sudah keluar perjanjian homologasi itu sudah aman, artinya itu sebagai dasar yang menjadi titik acuan untuk melakukan restrukturisasi utang-utang bahkan restrukturisasi perusahaan atau proyek,” terang Joni, dikutip melalui keterangannya, Rabu (02/11/2022).
“Kebanyakan dianggap homologasi ini hanya restrukturisasi utang padahal itu juga untuk korporasi makanya sangat mungkin ada investasi dari luar masuk, take over, akuisisi, buka saham baru, atau proses bisnis lainnya,” sambungnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Untuk mencapai perjanjian homologasi ini, pasti sudah dilakukan voting dari sisi konsumen. Artinya, lanjut Joni, bila sudah keluar putusan homologasi maka konsumen tidak boleh mundur lagi dan harus kompak antar konsumen itu sendiri untuk mengawal berbagai keputusan maupun perjanjian baru terkait proses proyeknya.
Joni mengatakan, apabila ada pihak yang masih tidak puas dan menuding proses PKPU hingga perjanjian homologasi merupakan akal-akalan developer dalam menghindari kewajibannya, hal tersebut harus dibuktikan di pengadilan.
“Untuk mencapai proses homologasi sendiri jalannya cukup panjang setelah perusahaan mengajukan PKPU pada Pengadilan Niaga. Dimulai dengan membuat surat kuasa, menyiapkan izin advokat, menyiapkan laporan keuangan perusahaan, melampirkan sisa utang dan identitas kreditur, rencana perdamaian, dan sebagainya,” kata Joni.
Kreditur sendiri terbagi tiga yaitu kreditur preferen yang memiliki hak prioritas sehingga didahulukan pelunasan piutangnya, kreditur separatis yang memegang hak jaminan kebendaan, dan kreditur konkuren. Yang ketiga ini tidak memegang hak jaminan kebendaan tapi memiliki hak untuk menagih debitur berdasarkan perjanjian. Kreditur konkuren inilah konsumen yang jumlahnya lebih banyak namun status hukumnya paling lemah.
“Makanya ada voting, kalau suara voting lebih banyak yang setuju maka suara minoritas akan kalah dan itu lemahnya sistem hukum kita karena kreditur konkuren ini tidak punya bargaining,” kata Joni.
“Kritik saya, seharusnya saat konsumen sudah membayar apakah sebagian atau sudah lunas, barang yang dibeli itu sudah bukan lagi menjadi aset developer tapi asetnya konsumen kendati fisiknya belum jadi sehingga konsumen memiliki bargaining power yang lebih besar,” tandasnya.
Sebagai informasi, ada beberapa contoh kasus proyek apartemen yang berujung pada perjanjian homologasi, antara lain Green Pramuka City, Meikarta, dan Antasari Place. Hingga saat ini, proses penyelesaian kewajiban dari para pengembang proyek-proyek tersebut pun amsih terus berjalan.

